Soal Pelarangan Hijab, RS Medistra Berpotensi Ajukan Gugatan Hukum jika Tidak Terbukti

IDNEWS.CO.ID – Pelarangan penggunaan hijab terhadap calon tenaga medis di Rumah Sakit (RS) Medistra yang sempat viral di media sosial dan menjadi perbincangan publik. Hal itu menuai respons Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah.

Menurut Trubus, manajemen RS Medistra bisa melakukan upaya hukum jika memiliki bukti bahwa dituduhkan tidak benar.

“RS Medistra harus melakukan gugatan hukum kalau memang merasa dirugikan dan mempunyai bukti,” ujar Trubus saat dihubungi, Senin (9/9/2024).

Dia menegaskan, RS Medistra akan menjadi pihak yang paling dirugikan dalam hal tersebut. Pasalnya, berimbas pada citra dan penilaian buruk masyarakat terhadap RS Medistra.

“Kalau memang tidak terbukti (pelarangan penggunaan hijab) berarti ada penyebaran berita bohong dong. Ada penyebaran berita bohong yang menyebabkan pihak RS Medistra yang dirugikan, itu kan pencemaran nama baik,” tegas Trubus.

“Fitnah kan pencemaran nama baik, artinya ada pelanggaran pidana disitu kalau memang punya bukti,” sambung dia.

Trubus mengungkapkan, tidak mungkin suatu instansi membuat kebijakan kontroversial, seperti melarang penggunaan hijab di Rumah Sakit (RS). Sebab, penggunaan hijab di Indonesia sudah mendapat jaminan dari negara.

Karena itu, tegas Trubus, polemik RS Medistra yang dituduh melarang pegawai menggunakan hijab di lingkungan kerja sangat mustahil. Tentunya berdampak pada pelayanan RS tersebut.

“Ya enggak ada rumah sakit menggunakan kebijakan seperti itu (larangan menggunakan hijab). Tidak mungkin. Di Jakarta enggak ada rumah sakit yang melarang menggunakan hijab atau simbol-simbol,” ungkap dia.

“Jadi kalau rumah sakit kan tempat pelayanan umum. Jadi masyarakat atau siapapun dapat mengakses,” tambah Trubus.

Trubus juga menuturkan, rumah sakit yang notabene memberikan pelayanan untuk warga yang membutuhkan, tidak perlu membawa unsur agama.

Semua warga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan baik tanpa membedakan suku, ras maupun agamanya. “Rumah Sakit kan tempat pelayanan umum, pelayanan publik. Jadi semua harus sama,” tandas dia.

Cari Sensasi

Pengamat Kebijakan Publik dari Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul menilai, polemik larangan berhijab calon karyawan RS Medistra merupakan hal sepele untuk mencari sensasi semata.

Padahal, kata dia, polemik itu bisa dituntaskan dengan duduk bersama antara calon karyawan dan manajemen terkait.

“Nah sekarang menjadi ramai itu karena sekarang orang lebih senang melakukan publisitas, alias no viral no justice menggelembungkan opini keluar apalagi jilbab ini kan kalau sudah digelembungkan di luar bisa menjadi perhatian publik. Padahal esensinya sepele, duduk bersama saya kira selesai,” kata Adib.

Terlebih, lanjut dia, setiap perusahaan memiliki tata tertib masing-masing yang telah disepakati antara manajemen dengan penerima kerja.

Dalam hal ini, RS Medistra telah mengklarifikasi polemik larangan berhijab dan membantah adanya isu tersebut.

“Urusan tata tertib perusahaan itu ya urusan pemberi kerja dan urusan penerima kerja yang lazim, yang lumrah yang sering terjadi. Penerima kerja alias karyawan, ya tawar menawar posisinya agak rendah ketimbang pemberi kerja atau perusahaan. Ini kan ada termaktub dalam sebuah peraturan,” jelas dia.

Sebelumnya, Direktur Utama RS Medistra Agung Budisatria memberikan klarifikasi atas dugaan pelarangan hijab di rumah sakitnya yang viral di media sosial.

Agung meminta maaf dan menyatakan terjadi kesalahpahaman dari proses wawancara yang dilakukan oleh salah satu karyawannya.

Agung juga menerangkan, RS Medistra memiliki peraturan kepegawaian yang mengatur tentang standar dan perilaku yang sama sekali tidak melarang karyawannya mengenakan hijab.

Bahkan, banyak dokter, perawat, dan karyawan lainnya di RS Medistra yang memakai jilbab.

Manager Sumber Daya Manusia (SDM) RS Medistra Jakarta Selatan Markus Triyono menuturkan, penyediaan fasilitas ibadah untuk membuktikan bahwa rumah sakit menghargai keberagaman keyakinan yang ada di Jakarta.

Tidak dipungkiri, Jakarta diisi oleh masyarakat heterogeny. Yakni memiliki ragam perbedaan mulai dari bahasa, suku, budaya, ras, agama dan profesi sekalipun.

“Kami memiliki masjid dan musala yang selama ini selalu digunakan oleh seluruh karyawan untuk melaksanakan kegiatan keagamaan,” tukas Markus. (bhd)

Exit mobile version