Berita  

Literasi Tidak Sekadar Membaca dan Menulis

Itje Chodidjah, ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO. (dok/arsip nasional RI)
banner 468x60

(Itje Chodidjah, ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO)

Dalam beberapa tahun terakhir ini informasi mengenai literasi marak dibicarakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Hal ini karena memang literasi salah satu penentu penting kemajuan peradaban sebuah bangsa.

Beberapa penelitian menjelaskan bahwa rendahnya literasi masyarakat dapat menimbulkan perkembangan masyarakat yang tidak stabil, meningkat kriminalitas karena tidak paham hukum, kesadaran hidup sehat masyarakt rendah, pelarian ke alkohol dan obat terlarang tinggi, dsb.

Beragam Definisi Literasi sampai Hari Ini

Ada yang menyebutkan bahwa literasi adalah kemampuan membaca, menulis, dan berhitung dan ada juga yang mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk memaknai kehidupan melalui berbagai teks yang ada dalam masyarakat.

Asosiasi Literasi Internasional menyebutkan bahwa literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menginterpretasi, menciptakan, menghitung, dan mengkomunikasikannya lewat bahan bacaan digital maupun nondigital dalam konteks apapun.

Dalam diskusi beranda yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) yang diikuti oleh berbagai komponen masyarakat pegiat literasi, kepala sekolah, pengawas, guru, dan siswa dilahirkan pemahaman bahwa literasi bukan sekedar kegiatan membaca.

Literasi adalah fondasi dasar bagi perkembangan kemampuan anak yang perlu diterapkan tidak hanya dalam satu bagian kecil atau mata pelajaran saja.

Melainkan meliputi seluruh aspek kehidupan anak, mulai dari masuk sekolah, di tiap pelajaran, hingga pulang, dalam ekstrakurikuler, maupun dalam kehidupan keluarga dengan bimbingan orangtua.

Menurut UNESCO, ketrampilan membaca dan menulis adalah alat utama untuk bertahan hidup.

Literasi akan membawa kehidupan individu bermakna dan memiliki tujuan.

UNESCO juga menyatakan, literasi bukan sekedar membaca dan menulis, namun juga meliputi kemampuan berkomunikasi (dalam era teknologi ini diperlukan literasi digital) serta kapasitas untuk mampu membuat perencanaan dan mendokumentasikan.

Uraian di atas memberikan gambaran kepada kita betapa pentingnya memiliki kualitas literasi yang tinggi untuk melanjutkan kehidupan.

Oleh sebab itulah setiap negara berupaya untuk meningkatkan kualitas literasi bangsanya demi kelanjutan kehidupan bangsa tersebut.

Berbagai data mengenai literasi anak maupun orang dewasa Indonesia dilaporkan masih tergolong rendah.

EGRA (Early Grade Reading Assesment) melaporkan bahwa 47% siswa (kelas 2 SD) lancar membaca & memahami bacaan, 26.3% memahami bacaan namun tidak lancar membaca, 20.7% lancar membaca namun tidak memahami bacaan, dan 5.8% tidak bisa membaca sama sekali (EGRA, 2014).

Sedangkan untuk orang dewasa, lebih dari 70% orang dewasa di Indonesia hanya mampu membaca kalimat dengan topik familiar dalam satu topik bacaan tanpa memahami struktur kalimat (PIACC, 2016).

Dua laporan ini memberikan gambaran kepada kita bahwa literasi harus menjadi perhatian seluruh komponen bangsa.

Cukupkah dengan GLS?

Pemerintah Indonesia melalui Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti memasukkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).

GLS terdapat dalam lampiran Permen tersebut yang menggambarkan 7 kegiatan pembiasaan dalam rangka menumbuhkan budi pekerti, yakni:

  1. Menumbuhkembangkan nilai-nilai moral dan spiritual;
  2. Menumbuhkembangkan nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan;
  3. Mengembangkan interaksi positif antara peserta didik dengan guru dan orangtua;
  4. Mengembangkan interaksi positif antar peserta didik;
  5. Merawat diri dan lingkungan sekolah;
  6. Mengembangkan potensi diri peserta didik secara utuh;
  7. Pelibatan orangtua dan masyarakat di sekolah.

Untuk negara seperti Indonesia yang bahkan indeks perilaku membaca dan aspek pendukungnya pun rendah, peningkatan kualitas literasi melalui GLS Indonesia tidak cukup.

Central Connecticut State University menyebutkan bahwa Indonesia berada pada peringkat terendah kedua, ranking 60 dari 61 negara (CCSU, 2016).

Indonesia memerlukan upaya yang lebih serius dengan melibatkan orang tua dan masyarakat dalam rangka mengingkatkan kualitas literasi anak-anak Indonesia.

Peningkatan literasi di sekolah melalui GLS membaca 15 menit belum dapat diandalkan untuk meratakan peningkatan kualitas literasi anak-anak.

Beberapa hal yang menjadi kendala antara lain adalah pemahaman tentang pelaksanaan membaca yang belum merata.

Sehingga pelaksanaannya berbeda-beda antara satu sekolah dengan sekolah lain.

Sebagian memahami sebagai tugas memberi bacaan kepada siswa, sebagian memberi kesempatan berdiskusi setelah membaca, dsb.

Selain itu juga, hambatan sumber daya berupa koleksi buku yang belum sesuai dengan kebutuhan baik secara jumlah maupun kualitas buku.

Ruang penyimpanan buku yang belum memadai, dan tentu saja keberlanjutan program membaca 15 menit itu sendiri.

Peningkatan Literasi di Sekolah

Sekolah merupakan tempat subur untuk dikembangkannya literasi anak.

Perilaku literat yang dicontohkan oleh para pendidik merupakan cara langsung untuk membangun literasi anak.

Salah satu contoh adalah pola komunikasi lisan pendidik yang tepat dan sesuai usia anak.

Jika pendidik terbiasa menggunakan bahasa lisan yang mampu mengaktifkan berfikir anak, maka secara otomatis anak-anak sedang diajak membangun literasinya.

Pendidik yang mampu mengembangkan proses belajar mengajar, baik intra maupun ekstra kurikuler, yang mengaktifkan anak untuk membaca dan kemudian membahasnya mengikuti pola “Low Order Thinking Skills” dan ”High Order Thinking Skills”.

Jelas pada saat yang sama pendidik tersebut mengembangkan literasi anak-anak.

Pada usia dini, literasi dapat dikembangkan melalui bahasa lisan yang digunakan oleh pendidik, membacakan cerita, dan membahasnya sesuai dengan bahasa anak.

Seiring dengan perkembangan teknologi pada abad 21 ini anak-anak yang memasuki usia dewasa membaca dan menulis jauh lebih banyak dibadingkan dengan masa-masa sebelumnya, dalam sejarah hidupnya manusia (Vacca et al. 2011).

Mereka sangat membutuhkan tingkat literasi yang tinggi untuk mampu berpartisipasi dalam dunia kerja yang makin kompleks, mengatasi persoalan pribadinya, maupun bertindak sebagai warga negara.

Pekerjaan teknis telah digantikan oleh berbagai mesin sehingga lapangan kerja lebih memerlukan ketrampilan halus atau soft skills dan kemampuan berfikir kritis.

Oleh sebab itu tidak akan cukup bila proses pembelajaran masih didominasi oleh hafalan.

Peningkatan Literasi lewat Keluarga

Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama merupakan tempat pertama bagi anak untuk mengembangkan literasinya.

Anak-anak pada usia awal selalu diajak berkomunikasi tentang berbagai hal yang ada di sekitar mereka walaupun mereka belum mampu memberi respon secara verbal sekalipun.

Ketika anak sudak mampu memberi respon secara verbal, mendialogkan berbagai hal yang ada di sekitar mereka akan menguatkan minat mereka nantinya untuk membaca.

Perilaku positif orang tua juga akan menguatkan pengembangan literasi ketika usia bertambah.

Orang tua yang perlu membacakan berbagai ragam cerita dan membahasnya bersama anak.

Menanyakan kepada anak bagaimana perasaan mereka ketika mendengar cerita yang disampaikan orantuanya.

Anak diminta untuk memberikan pendapat tentang tokoh yang ada dalam cerita dan tanyakan mengapa.

Literasi sebagai Kunci Perkembangan

Bagaimana literasi dapat menjadi kunci perkembangan kehidupan seseorang?

Dalam kehidupan modern ini literasi merupakan bagian penting bagi seseorang untuk mengambil keputusan yang tepat, memberdayakan diri, serta berpartisipasi aktif maupun pasif dalam masyarakat social lokal maupun secara global Stromquist (1995).

Seseorang yang tumbuh dalam ekosistem yang kaya text (baik lisan maupun tulis) akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi.

Kepercayaan diri yang tinggi tersebut meningkatkan kesadaran seseorang bahwa pengetahuan yang diperolehnya ia dapat menentukan sikapnya secara lebih tepat dalam aktivitas pribadi maupun aktivitas social mereka Bown (1990).

Ketika seorang anak dibiasakan untuk membaca, lalu dapat memilih informasi yang perlu dibacanya, dan akhirnya mampu menyampaikan informasi yang dibacanya dalam bentuk lisan maupun tulis dengan percaya diri, ia akan mencapai literasi informasi yang mumpuni.

Berawal dari situlah, ia kemudian mengembangkan ‘self-efficacy’ (Bandura, 1977).

Self – efficacy yang tinggi memungkinkan seseorang menjalankan proses pembelajarannya dengan lebih efektif dan memiliki kemampuan untuk menata keberhasilan hidupnya.

Dalam hal ini Bandura menggambarkan self – efficacy sebagai pertimbangan seseorang mengenai kemampuannya sendiri untuk berpartisipasi aktif dalam sebuah aktivitas.

Karena persepsinya itulah, ia akan mantap dalam menentukan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan berikutnya.

Jika secara konvensional diskusi literasi terbatas pada membaca dan menulis, seiring dengan dinamika kehidupan manusia, saat ini pembicaraan literasi dikaitkan dengan bidang-bidang yang lebih spesifik untuk memudahkan upaya pengembangan manusia dalam kehidupannya.

Sejak tahun 1980-an, literasi mulai dipecah dalam berbagai bidang tertentu (Lankshear and Knobel, 2003).

Hal ini dimaksud untuk memudahkan orangtua, sekolah, dan masyarakat untuk mengembangkan kompetensi dan perilaku di masyarakatnya.

Saat ini, telah berkembang berbagai jenis literasi yang diharapkan akan membantu manusia lebih mampu berpartisipasi dalam kehidupannya secara efektif.

Jenis literasi yang saat ini makin sering mejadi perhatian antara lain literasi digital, literasi informasi, literasi finansial, literasi finansial, dsb.

Masing-masing jenis literasi tersebut secara spesifik membahas pemahaman dan kemampuan seperti apakah yang seharusnya dimiliki seseorang dalam bidang tertentu di atas agar dapat mengambil sikap yang tepat baik secara personal maupun sosial.

Semakin banyak jenis literasi yang dikembangkan maka kehidupan seseorang akan semakin mudah berkembang.

Pada akhirnya, perlu sama-sama menjadi perhatian kita bahwa peningkatan kualitas kehidupan ditentukan tingkat literasi.

Diawali dengan literasi membaca kemudian seseorang meningkatkan kualitas literasi dalam berbagai aspek kehidupan, literasi kesehatan, literasi digital, literasi keuangan dan lain-lain. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Verified by MonsterInsights