Nyaman Membaca di Perpustakaan Jakarta Cikini, Tunggu Apa Lagi?

Fasilitas khusus untuk mengurangi rasa 'dahaga' dalam memperkaya literasi terkait aspek sejarah, sastra, politik, budaya, dan sebagainya

BUDAYA LITERASI - Seorang anak sedang asyik membaca buku di Perpustakaan Jakarta. (dok. dispusip dki)
banner 468x60

IDNEWS.CO.ID – Bersyukurlah bagi yang tinggal dan menetap di Jakarta. Segalanya ada, banyak kemudahan. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kebutuhan informasi pun bisa terpenuhi dengan mudah.

Maka muncul sebuah kesan bahwa warga Jakarta punya banyak peluang untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Tepat! mungkin itu kata yang pas untuk menjawab kesan tersebut.

Kendati kemajuan teknologi di era digital bisa memudahkan orang dapat informasi lewat kecanggihan telepon seluler, namun tidak sepenuhnya bisa memuaskan kebutuhan akan informasi terkait dengan sejarah hingga pencarian referensi literasi secara khusus. Artinya, selalu ada keterbatasan dalam kondisi teknologi yang sudah mumpuni seperti sekarang ini.

Karena itu, butuh sebuah fasilitas khusus untuk mengurangi rasa ‘dahaga’ dalam memperkaya literasi terkait aspek sejarah, sastra, politik, budaya, dan sebagainya. Terlebih lagi upaya memahami peradaban harus dibangun lewat budaya literasi. Alhasil, para penggali ilmu pengetahuan bisa memahami peradaban umat manusia dari masa ke masa.

Perpustakaan menjawab kebutuhan berbagai informasi secara detil. Selama ini, manusia di belahan bumi mana pun pasti mengenal kata ‘Perpustakaan’. Walaupun banyak pula yang sekadar tahu, namum relatif sedikit orang yang menginjakkan kakinya di perpustakaan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perpustakaan memiliki arti tempat, gudang, ruang, yang disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku dan sebagainya. Terdapat juga makna lainnya, yakni koleksi buku, majalah, dan bahan kepustakaan lain yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dan dibicarakan.

Bicara tentang perpustakaan, tentunya perlu diketahui keberadaan perpustakaan pertama kalinya. Di Indonesia, tercatat bahwa perpustakaan pertama adalah Gereja Batavia. Perpustakaan itu kabarnya dirintis sejak tahun 1624. Tetapi, layaknya sebuah program kegiatan, sering kali menjumpai kendala. Sehingga perpustakaan ini baru diresmikan pada 27 April 1643.

Momentum peresmian itu seiring dengan pengangkatan pendeta Ds (Dominus) Abraham Fierenius sebagai kepala perpustakaan. Mulai saat itulah, berlaku layanan peminjaman buku oleh pengurus Perpustakaan Gereja Batavia.

Meski demikian, saat itu layanan masih cukup terbatas, yakni hanya untuk kalangan perawat rumah sakit Batavia, termasuk yang berada di Semarang dan Juana. Setelah itu tidak terdapat catatan tentang keberadaan perpustakaan di Indonesia untuk waktu yang cukup lama.

Perpustakaan di Indonesia yang tercatat keberadaannya setelah itu adalah perpustakaan milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Perpustakaan ini didirikan pada 24 April 1778, semasa Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen berdiri atas prakarsa Mr J.C.M. Rademaker, ketua Raad van Indie. Organisasi ini mengandalkan sumbangan dermawan serta bantuan keuangan dari Raad van Indie. Demikian dilansir dari perpustakaan.bsn.go.id.

Pada era modernisasi, khususnya Kota Jakarta, mulai tersebar perpustakaan yang mudah dikunjungi masyarakat. Seperti Perpustakaan Jakarta Cikini dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang berada di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat.

Awalnya, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mendirikan Perpustakaan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin pada 30 Mei 1977, kini menjadi Perpustakaan Jakarta Cikini. Lalu, revitalisasi dilakukan. Hasilnya, segala fasilitas sehubungan dengan layanan perpustakaan pun semakin lengkap.

Bahkan, pembaharuan sistem menjadi perpustakaan yang satu ini jadi lebih baik. Tak hanya itu, pengelola perpustakaan memberikan ruang dan waktu bagi para pegiat tergabung dalam komunitas sastra untuk menjadikan lokasi itu sebagai tempat berdiskusi dalam membangun budaya literasi, pameran, dan event.

Tujuan dari peningkatan kualitas Perpustakaan Jakarta Cikini agar menjadi pusat literasi di Kota Jakarta. Penggabungan perpustakaan ini sebagai Perpustakaan Jakarta Cikini dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Dengan segala perubahan yang lebih baik itulah, Perpustakaan Jakarta Cikini membuat dapat dirasakan nyaman dan menyenangkan bagi pengunjung.

Dalam satu kesempatan, usai melihat-lihat suasana Perpusatakaan Jakarta Cikini, Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip) DKI Jakarta Firmansyah mengatakan, tersedianya fasilitas yang memadai ini bisa dimanfaatkan oleh masyarakat umum dan berbagai komunitas untuk menggeliatkan lingkungan perpustakaan. “Dispusip DKI diamanatkan oleh Pj Gubernur DKI Heru Budi Hartono untuk memberikan manfaat positif yang berdampak luas bagi masyarakat Jakarta,” ujar dia.

Bagi masyarakat yang ingin mengunjungi Perpustakaan Jakarta Cikini, akan menjumpai berbagai pemandangan yang tak kalah menariknya dengan lokasi lain. Akses gedung pun dirancang untuk memudahkan para pengunjung. Mulai dari penyediaan lift dan eskalator.

Belum memasuki gedung perpustakaan, pengunjung sudah disambut dengan pemandangan yang artistik. Material bangunan dari gabungan partikel kayu, kaca, dan material modern lainnya terasa sangat minimalis, modern dan estetik. Apalagi pada bagian ruang utama perpustakaan.

Pandangan pengunjung bakal langsung tertarik deretan buku-buku yang tertata rapi di rak-rak lemari berbingkai motif kayu. Ditambah lagi ruang baca sangat representatif. Pengunjung bisa menikmati berbagai buku bacaan dengan nyaman lantaran dilengkapi dengan pendingin udara alias AC.

Fasilitas lain yang bisa menunjang perangkat elektronik milik pengunjung berupa ponsel dan laptop, tak perlu khawatir kehabisan daya listrik. Pengelola perpustakaan menyediakan banyak titik untuk nge-charge. Terdapat pula mesin katalog untuk melihat dan memilih koleksi buku yang ingin dibaca.

Bila pengunjung hendak meminjam buku, selanjutnya bisa memproses sendiri secara digital melalui komputer yang disediakan pengelola. Terdapat lebih dari 38.000 judul buku dan kurang lebih 190.000 eksemplar untuk dibaca.
Menariknya lagi, bagi pengunjung yang terdiri dari satu keluarga dan membawa anak-anak, terdapat ruang bermain anak di lantai 4. Bahkan, terdapat ruangan khusus untuk mendengarkan cerita (story telling).

Selain itu, di bagian lantai 5 juga terdapat deretan buku-buku. Di lantai ini bisa dilihat sebuah ruangan khusus denngan dinding kaca dibingkai kayu untuk kegiatan podcast. Ada juga bilik privasi, bilik diskusi, dan ruang inklusi untuk penyandang disabilitas (difabel).

Meski demikian, terkadang muncul pertanyaan dalam benak, “Kok Pemprov DKI repot-repot merevitalisasi untuk meningkatkan layanan perpustakaan pada saat orang lebih memilih penggunaan smartphone ketimbang membaca buku?”. Bila sudah melihat langsung kondisi Perpustakaan Jakarta Cikini, maka akan menjawab pertanyaan tersebut.

Terbukti, perpustakaan menyimpan banyak hal terkait literasi lewat koleksi buku dan dokumentasi arsip bersejarah. Siapa saja bisa dapat kebenaran dari sebuah informasi dari waktu ke waktu. Bukan informasi yang ‘katanya, katanya’ dan cenderung bersifat ‘hoaks’. Terlebih di era digitalisasi saat ini, banyak sosial media yang sering memunculkan kabar bohong.

Nah, kini masyarakat hanya dihadapkan pada persoalan mau atau tidak mau melangkahkan kaki menuju Perpustakaan Jakarta Cikini yang sudah lengkap dengan berbagai fasilitas yang sangat memanjakan pengunjungnya. Sebab dengan membaca, setiap orang bisa punya bekal ‘kuat’ untuk menjadi pelaku yang mencetak sejarah baru dalam memajukan peradaban umat manusia. Tunggu apa lagi?

Diki Lukman Hakim, kepala UPT Perpustakaan Jakarta dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin belum lama mengungkap bahwa jumlah pengunjung perpustakaan yang dikelolanya bisa mencapai 1.000 orang per hari, yakni Senin-Jumat. Sedangkan pada Sabtu dan Minggu, jumlah kunjungan akan berlipat ganda. Sebab banyak pengunjung perpustakaan yang juga membawa keluarganya.

Kondisi demikian tentunya merupakan sesuatu hal yang fantastis. Membuktikan bahwa antusias masyarakat memang terbilang tinggi. Pada Senin-Jumat, pengunjung didominasi kalangan mahasiswa dan pelajar.

Walaupun pada dasarnya kalangan pelajar dan mahasiswa harus aktif menggali informasi untuk mendukung pendidikannya. Namun bila diiringi spirit gemar membaca yang tinggi, tentunya akan menuai generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Begitu pentingnya membangun budaya membaca itulah yang mendorong The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) secara resmi mendeklarasikan setiap tanggal 8 September sebagai Hari Literasi Internasional (Hari Aksara Internasional).

Meski literasi merupakan istilah umum yang merujuk pada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca dan menulis. Namun tak hanya sebatas baca dan tulis. Literasi individu juga mencakup kemampuan dan keterampilan dalam berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah.

Menurut World Economic Forum, terdapat enam literasi dasar yang harus dikuasai oleh orang dewasa. Yakni, baca tulis, literasi numerasi, literasi finansial, literasi sains, literasi budaya dan kewarganegaraan, serta literasi teknologi informasi dan komunikasi atau digital.

Pada 2022, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI merilis hasil survei Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) 2022 di seluruh Indonesia. Pengumpulan data responden di 102 kota dari 34 provinsi di Indonesia. Target awal dari survei adalah 100-200 responden di tiap kabupaten/kota, sehingga totalnya sebanyak 11.195 responden. Hasil akhir survei menunjukkan sebanyak 11.158 responden memiliki kegemaran membaca atau sebesar 99,7 persen. (*)

Verified by MonsterInsights