Perubahan yang Lebih Baik atau Cukup sampai di Sini?

Ada bukti, itulah sejarah! Begitulah kalimat yang terlontar di salah satu diskusi versi 'tongkrongan' pada sebuah ruas jalan

BUDAYA LITERASI - Seorang anak sedang asyik membaca buku di Perpustakaan Jakarta. (dok. dispusip dki)
banner 468x60

IDNEWS.CO.ID – Ada bukti, itulah sejarah! Begitulah kalimat yang terlontar di salah satu diskusi versi ‘tongkrongan’ pada sebuah ruas jalan. Diskusi seperti itu sering dilakukan oleh kalangan muda dan orang tua. Dimulai dari lingkungan permukiman penduduk, lingkungan kerja hingga di kawasan-kawasan yang asik untuk bersantai. Seakan kegiatan tidak formal seperti itu menjadi bagian pelepas lelah usai beraktivitas sehari-hari.

Namun ada benarnya. Sebuah cerita dapat dikatakan sebagai sejarah bila mengacu pada suatu bukti. Diskusi yang didasari sebuah sejarah perjalanan kehidupan manusia bisa menjadi argumentasi kuat. Termasuk menjadi bagian dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi siapapun.

Jadi, jangan anggap remeh sebuah diskusi. Sebab dari kegiatan berdiskusi mampu menghasilkan sesuatu yang mengarah pada perubahan, tentunya untuk ke arah yang lebih baik. Tentu saja, sebaik-baiknya mendiskusikan sesuatu dengan berbekal referensi.

Bicara tentang perubahan, merupakan suatu kondisi yang banyak diinginkan oleh pribadi seseorang, kelompok atau komunitas, bahkan hingga pada tatanan bangsa dan negara. Banyak kalangan sepakat, perubahan bisa dimulai dari berbagai aspek kehidupan. Mulai dari aspek ilmu pengetahuan, politik, sosial, agama, ekonomi, dan budaya.

Memundurkan waktu sedikit saja, kondisi perubahan di Indonesia salah satunya terjadi Pasca-Reformasi 1998 hingga kini. Kata ‘Perubahan’, terkait politik, hukum, dan pemerintahan terus digaungkan oleh kalangan aktivis pergerakan, politisi, hingga pengamatnya.

Ada yang menuntut atau berbuat langsung dengan langkah-langkah solutif. Bahkan ada yang bersikap hanya bersedia atau terpaksa mengikutinya tanpa terlibat langsung dalam setiap tahapan menuju perubahan. Tak bisa dipungkiri, kondisi demikian terjadi di Indonesia. Hal ini menjadi fakta dalam sejarah yang tak terelakkan.

Pada dasarnya, setiap pemikiran dan langkah menuju suatu perubahan yang lebih baik juga gencar dilakukan oleh pendahulu di tanah air. Akan tetapi perlu dimaklumi, saat itu gaung tentang perubahan sulit terdengar secara cepat. Satu kendala di antaranya adalah kondisi teknologi yang masih terbatas. Sampai sekarang, berbagai forum diskusi secara aktif dilakukan oleh para pemerhati dan praktisi kehidupan.

Di masa kini, siapapun bisa punya gagasan menuju perubahan. Inspirasinya bisa saja merunut pada pemikiran seorang tokoh, diperkuat dengan berbagai referensi lainnya. Caranya mudah, cukup melangkahkan kaki menuju tempat penyimpanan berbagai dokumentasi dan ilmu pengetahuan, seperti Perpustakaan dan Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jasin di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.

Kembali pada makna perubahan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘Perubahan’ memiliki arti hal (keadaan) berubah; peralihan; pertukaran. Dapat didefinisikan bahwa perubahan adalah peralihan keadaan yang sebelumnya. Perubahan tersebut tidak hanya berupa keadaan, bisa juga berupa perubahan pola pikir, dan perilaku suatu masyarakat.

Makna Perubahan dari Sudut Pandang MH. Ainun Najib

Banyak tokoh mengutarakan pendapatnya perihal perubahan. Seperti Emha Ainun Najib misalnya. Pada penerbitan Koran Pelita, Jumat, 9 Mei 1986, halaman 4, bertajuk ‘Ilmu Perubahan’ menceritakan kisah seorang sahabat menjumpai dirinya. Mereka pernah bersama-sama menuntut ilmu di Pesantren Gontor.

Keduanya asik berbicara tentang keadaan keluarganya masing-masing. Tak lama berselang waktu, sahabatnya itu menuju beranda sambil memandang langit dan menerawangi dunia, entah apa yang dipikirkannya.

Keesokan harinya, diketahui bahwa sahabatnya itu memimpin segerombolan anak muda yang memiliki visi sama, yakni melakukan perubahan. Alhasil, sahabatnya dan sejumlah orang lainnya ditangkap, diadili, dan dieksekusi. Menurut MH. Ainun Najib, hal itu bukanlah penilaian benar atau salah atau masing-masing punya saham benar atau salahnya sendiri.

“Ini hanyalah suat keinsyafan bahwa perubahan memiliki hukum dan ilmunya sendiri, yang sering kali lebih penting dibanding pengetahan dibanding pengetahuan kita tentang hal-hal yang harus dirubah serta tentang ‘bayangan’ apa yang harus kita tuju untuk perubahan itu”

Pengamat Kebudayaan yang akrab disapa Cak Nun (kini sering disebut Mbah Nun) itu bertutur, untuk merubah dunia tidak dalam waktu satu, tidak satu bulan, tidak satu tahun, bahkan mungkin juga tidak sepuluh tahun. Lebih dari itu tidak juga lebih sedikit dari jumlah usia kita.

Menurut Mbah Nun, ilmu perubahan juga mengajarkan kita bahwa kita tidak harus membayangkan diri sendiri sebagai seorang raksasa King Kong yang melingkarkan kaki ke seantero bumi. “Ada kemungkinan apa yang harus kita rubah di dalam diri kita sendiri ini lebih besar dibanding diri kita sendiri”.

Berikut ‘Syair Perubahan’ (Mbah Nun):

IMAN PERUBAHAN 5

Yang terlemah dari iman perubahan
Ialah lari sembunyi di hutan
Setiap sentuhan dengan tatanilai dajjal kekasakan
Seratus persen dihindarkan

Menulis catatan-catatan romantik
Mendendammi seluruh serigala politik
Meratapi dunia retak dan nilai berserak-serak
Mengunkung diri dalam tangis kanak-kanak

Adapun karena hutan tak di sini tak di sana
Melainkan bertebaran juga di ketidak kota-kota
Maka pelarian itu fana
Sementara badan terus juga terluka

Di rimba raya minta makan kepada binatang
Di selangkangan kota ngemis kepada kawan-kawan
Menyangka Tuhan dan kebenaran nun jauh di sana
Padahal luka menganga para tetangga menawarkannya

IMAN PERUBAHAN 6

Adapun jika perubahan dilangsungkan
Dengan menyongsong kereta dari depan
Dan membenturkan kepala ke lokomotif
Itulah iman babi primitif

Segala impian kalau bisa tercapai hari ini
Dengan mengganti presiden atau menyerbu kantor polisi
Menempeleng semua bebek dan mengutuk para pegawai
Setidaknya memaksa semua kawan masuk partai

Adapun negara ialah kereta yang berlari
Para eskapis marah dan terjun masuk sungai
Kaum radikalis merambat ke gerbong paling depan
Masinis dicincang, mereka duduk menggantikan

Akan hal para penumpang, tidaklah tahu menahu
Di Madiun selatan, para BTI disembelehi
Dan tadi sore Pak Lurah mengeluh dengan wajah sayu
“Apakah kalau besok Golkar kalah, pendudukku juga harus mati?”

Mengulas Pemikiran Tokoh Gerakan

Hal lain tentang sisi perubahan yang telah dilakukan oleh manusia kerap mendapat tanggapan, juga sebagai bahan diskusi. Dalam tulisan HB. Jasin pada Koran Merdeka, Selasa, 5 Maret 1985, halaman 2, bertajuk ‘Parlemen Syaitan Membicarakan Manusia’, meramu sebuah panel diskusif tentang ‘Pengaruh Iqbal dalam sejarah pemikiran Islam’.

Kegiatan itu diselenggarakan oleh YOUTH ISLAMIC Study Club Al-Azhar bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta dan Kedutaan Besar Pakistan di Jakarta. Berlokasi di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Ruangan yang begitu besar nampak penuh dengan pengunjung. Bahkan, karena kehabisan tempat duduk, banyak diantaranya yang duduk di lan tai mendengarkan dengan tekun. Sebagian besar pengunjung terdiri dari para remaja. Di antaranya juga nampak Duta Besar Pakistan di Jakarta, Dr. S.M. Quraisyi.

Panelis yang berbicara adalah, Fachri Ali dari LP3ES calon Sarjana IAIN Jakarta dan Drs. H. Saefullah Mohyuddin dari Universitas Gajahmada Yogya serta Ali Audah, dari Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Sedangkan pembaca Puisi, Abdul Hadi WM dan Taufiq Ismail.

Sosok Muhammad Iqbal diangkat dalam diskusi tersebut. Terutama terkait soal pemikirannya dalam membuat perubahan di Pakistan. Ia dikenal sebagai seorang penyair, penulis prosa, filosof, ahli bahasa, ahli hukum, politisi dan guru. Yang jelas, Iqbal sangat dikenal sebagai pembaharu pemikiran Islam di Pakistan, hingga lahirnya Negara Republik Islam Pakistan.

Hal itu tak terpisahkan dari Iqbal. Sebab ia memiliki gagasan perubahan yang dilontarkannya di forum Liga Muslimin di tahun 1930. Iqbal lahir di Punyab 9 Nopember 1877. Hingga akhir hayatnya, meninggalkan banyak karya tulis dalam bentuk sajak-sajak panjang yang ditulis dalam bahasa Arab, Persia, dan Urdu.

Dalam karya tulisan Iqbal, dapat dirasakan betapa sangat menggebu-gebunya dalam mengutarakan pemikiran. Ketika itu, dunia Islam dalam kemerosotan. Pada kesempatan diskusi itu, tampil Taufik Ismail membawakan sajak ‘Parlemen Syaitan’ yang berisi tentang percakapan syaitan dengan beberapa manusia.

Setan:

Jin-jin mulai mempergunakan tari purbanya
Uh.. dunia yang laknat ini, pasir dan abu harap
Penghuni sorga! Lihat sang Pencipta yang mencipta
segala ini dengan kun fayakun
Sebentar lagi akan menghancurkannya.

Otak cemerlang orang Eropa dan takhayul kerajaan
duniawi ini aku yang membikinnya
Kutiup mantra ke seluruh masjid, gereja dan pagoda
Kusesatkan para musafir, kukatakan pada mereka bahwa
ketentuan takdir tidak bisa diubah lagi
Dan telah kumabokkan pula pemimpin mereka dengan Kapitalisme

Siapa bisa memadamkan nyala redup api mereka yang mulai berkobar
lagi disulut nafsu angkara setan?
Siapa bisa mematahkan
Batang pohon yang telah disirami mukjizat setan?

Penasehat pertama:

Tak diragukan kedaulatan
Neraka kian kukuh di bumi
Karena itu bangsa-bangsa tumbuh dan besar diasuh
perbudakan;
Celakala mereka yang dinasibkan mengemis
dan menekuk lutut berabad-abad
Malanglah mereka yang telah ditabiatkan gemar memohon dan berdoa,
namun doanya tak punya tenaga

Pada bait berikutnya, syetan juga berkata:

Aku tahu, Pembela Undang-undang Tuhan
hampir tak ada lagi di bumi
Kaum Muslimin telah menganut faham dan kepercayaan lain
Syahadatnya sekarang ini adalah Kapitalisme
Dalam malam-malam gelap negeri Timur ini tak terjumpai lagi
tangan bersinar-sinar yang membuat
Musa mampu meruntuhkan Fir’aun
Juga tak di kalangan Kiyai dan ulama
Sekalipun demikian, jangan lalai
Meskipun mereka tengah sedih dan bingung
bahaya tetap mengintai di sana
Jejak Nabi yang hilang bisa diketamukan lagi

Sajak yang ditukil Iqbal dalam sajaknya di atas, cocok dengan apa yang dialami ummat Islam sekarang. Seperti yang dianjurkan, tepat sekali ummat Islam diingatkan jangan lalai. Meskipun dalam keadaan sedih dan bingung, bahaya tetap mengintai. Bila ini disadari ummat Islam, pasti, jejak Nabi yang hilang bisa ditemukan lagi. Islam menjadi kuat, seperti tangguhnya Nabi Musa mampu meruntuhkan Fir’aun.

Sebagai panelis, Fachri Ali berpendapat lain tentang peringatan yang sering diulang-ulang Iqbal, meski dilakukan orang setiap tahun. Ia menilai, banyak orang mengurai pemiliran Iqbal, bahkan dibahas mengenai syairnya. Tetapi agak jarang orang berusaha melihat bagaimana tentang pengaruh pemikiran Iqbal di Indonesia. Misalnya, apakah pemikiran semacam itu masih relevan dilihat dari segi operasional dan struktur kaum muslimin dewasa ini dan masa yang akan datang?

Menurut Fachry, meskipun Iqbal lama bergaul dan dipengaruhi ide-ide Barat, namun hampir bisa dipastikan, bahwa unsur unsur kepribadian Timur jauh lebih kuat mempengaruhi pemikirannya. Sedangkan ide Barat itu, hanya dijadikan Iqbal sebagai rukukan saja.

Iqbal beranggapan, demokrasi Barat mengalami kehampaan spiritual yang justru bagi Islam, demokrasi spiritual itulah yang menjadi tujuan terakhir dari Islam. Lalu bagaimana di Indonesia? Cerita Fachri Ali, kaum intelektual muda Islam Indonesia di tahun 70-an memulai suatu gerakan pembaharuan dengan dasar formalasi-formalasi Iqbal.

Mereka hanya melangkah satu atau beberapa langkah, untuk kemudian jalan di tempat. Jadi apa yang pernah dihasilkan Iqbal, sekarang hanya meriah diperingati saja. Sedang bagaimana penerapannya di tengah-tengah umat, masih belum terwujud.

Polemik Alur Pikir

Tidak selalu sama cara berpikir setiap orang dalam memahami langkah menuju suatu perubahan. Hal inilah yang menyeret pada setiap individu untuk guyub atau berkumpul mendiskusikan sesuatu. Memang tidak butuh penyamaan persepsi, namun setidaknya akan menghasilkan sebuah pemikiran sebagai acuan membuat perubahan yang lebih baik lagi bagi kehidupan manusia.

Dalam konsep perubahan di masyarakat, Goenawan Mohamad yang ketika itu sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, dalam penerbitan Koran Kompas, Selasa, 4 Mei 1982, berjudul ‘Perubahan Datang dari Politik, Bukan dari Sastra, menanggapi pemikiran dari Sutan Takdir Alijahbana yang dituangkan oleh Koran Kompas, 3 Mei 1982 dengan judul ‘Individualisme, ciri terpenting sastra zaman sekarang’. “Saya tidak bisa membayangkan kesenian bisa mengubah masyarakat. perubahan akan datang dari perjuangan politik, perjuangan sosial”.

Goenawan Mohamad juga menolak pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana mengenai sastra zaman sekarang yang menemui kebuntuan. Terlebih, sastra moderen dinilai Takdir tak memberikan semangat untuk berjuang bagi masa depan. “Yang dilakukan oleh Takdir ialah menumbuhkan konsepsi sastra sebagai rapat umum, sebagai kampanye. Dan Takdir memang berat pada masalah konsep, ide, bukan pada ekspresi”.

Sedangkan Sutan Takdir Alisjahbana menjawab kecaman Goenawan Mohamad lewat Koran Kompas, Jumat, 7 Mei 1982, berjudul ‘Perubahan Datang dari Segala Penjuru, Bukan Hanya Politik’.

Menurut Takdir, politik, ekonomi, ilmu, agama, dan sastra adalah beberapa dari banyak unsur yang saling berkaitan dalam suatu perubahan masyarakat. “Pokoknya perubahan datang dari segala penjuru, bukan hanya dari politik”.

Takdir juga tak menolak sebagai sastra puisi tentang cinta atau burung bernyanyi. “Namun sastra semacam ini bukan mengungkap masalah zamannya. Sastra yang bertanggungjawab mestinya membicarakannya dan membayangkan jalan keluar di masa depan”.

Begitulah beberapa pemikiran para tokoh di Indonesia yang memberikan sumbang pemikirannya terhadap upaya membangun perubahan dalam kehidupan umat manusia di Indonesia. Tentunya, kita bisa meneladani cara berpikir mereka yang dihidupkan dengan semarak berdiskusi. Akankah kita tergolong orang-orang yang berpikir dan mau mendiskusikan sesuatu untuk membuat sebuah perubahan yang lebih baik? (*)

Verified by MonsterInsights