Berita  

Jakarta Tak Lagi Berstatus Ibu Kota Negara? Kemungkinan Ini yang Terjadi

METROPOLITAN - DKI Jakarta bersiap diri menjadi kota global yang setara dengan kota di dunia. (ist)
banner 468x60
IDNEWS.CO.ID – Ledakan penduduk Indonesia secara masif terjadi di Jakarta.
Jumlahnya kini mencapai belasan juta jiwa.
Secara lebih spesifik, terjadi dinamika yang sangat pesat dengan Kota Jakarta yang genap berusia 496 tahun di tahun 2023.
Langkah pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memindahkan Ibu Kota Republik Indonesia ke wilayah Kalimantan Timur membawa konsekuensi terhadap Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta mendatang, setelah tidak lagi menjadi ibu kota negara.
Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengungkapkan tentang pertanyaan penting bila Jakarta tak lagi menyandang status ibu kota negara.
Di antaranya terkait dengan tata kelola internal kota Jakarta, hubungannya dengan pemerintah pusat, dan nasib kekhususan Kota Jakarta.
“Pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang jitu terkait desain kelembagaan Kota Jakarta kelak, mengingat beban kota Jakarta yang begitu besar. Permasalahan perkotaan yang begitu dahsyat dan tantangan ke depan yang dihadapi Jakarta yang tidak ringan,” papar Gembong.
Ia berpendapat, Jakarta setelah tidak menjadi ibu kota negara merupakan sebuah provinsi berkarakter urban.
Tidak tanggung-tanggung, Jakarta bisa menjadi mega-urban, atau biasa disebut megalopolitan atau megapolitan.
Menurut Gembong, provinsi lain tidak ada yang memiliki karakter seperti Jakarta.
Sebab, provinsi lain masih di dominasi pedesaan (rural area). Jakarta adalah megapolitan.
Setidaknya, kata Gembong, Jakarta dalam catatan Bank Dunia tahun 2015, masuk dalam 20 megapolitan dunia.
Alasannya, Jakarta merupakan kota di atas tipikal kota metropolitan.
“Metropolitan adalah kota dengan dua atau lebih central business district (CBD). Dalam bahasa planolog, kota metropolitan adalah kota dengan lebih dari dua nukleus, pusat kota,” urai dia.
Dalam Undang-Undang Nomor 23/2014, Bab XV Pasal 355 sampai Pasal 359 tentang Pengaturan Megapolitan disebutkan, kota metropolitan berada di atas kota kecil yang memiliki satu pusat kota.
Sebuah megapolitan membentuk jejaring antar-metropolitan.
Fakta ini melekat pada Kota Jakarta yang tahun ini genap berusia 494 tahun.
Meski status ibu kota telah pindah ke tempat lain.
Fakta empiris tersebut, sambung Gembong, selama ini tidak diakomodasi dalam payung hukum pemerintah di Idonesia.
Bangsa Indonesia lebih memiliki, mengatur, dan mengurus desa-desa di Indonesia ketimbang kota-kota.
“Padahal, seluruh wilayah di Indonesia berkembang menjadi perkotaan kelak, sesuai dengan perkembangan peradaban manusia dan pertumbuhan penduduk,” tambah dia.
Hanya Satu Pasal
Di lain pihak, Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia dan Ketua Klaster Demokcracy and Local Governance Irfan Ridwan Maksum mengemukakan, dalam Undang Undang tentang Pemerintah Daerah, Undang Undang Nomor 23/2014 tentang Pengaturan Megapolitan, hanya terdapat satu pasal yang mengatur mengenai konsep metropolitan, tetapi belum mengatur soal mega-urban, megalopolitan atau megacity.
Pasal 355 menyebutkan, (1) Perkotaan adalah wilayah dengan batas-batas tertentu yang masyarakatnya mempunyai kegiatan utama di bidang industri dan jasa.
Lalu (2) Perkotaan dapat terbentuk, (a) kota sebagai  daerah dan (b) kawasan perkotaan. wilayah kota belum operasional.
(3) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf (b) berupa bagian daerah kabupaten dan (b) bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung.
(4) Penyelenggaraan pemerintahan pada kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud  pada ayat (3) menjadi kewenangan pemerintah pusat  atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 356 memerinci, (1) Kawasan perkotaan dapat terbentuk secara alami atau dibentuk secara terencana.
Kemudian (2) Kawasan perkotaan yang dibentuk secara terencana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dapat dilakukan oleh pemerintahan daerah di atas, pemerintah pusat, pemerintah daerah dengan/atau badan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan.
Menurut Irfan, pasal selanjutnya tidak secara langsung berkaitan dengan kelembagaan perkotaan juga yang lebih akomodatif terhadap fenomena empirik kota-kota di Indonesia.
“Perkembangan Jakarta yang dahsyat dan juga akan dialami oleh kota-kota lain di Indonesia, tidak cukup baik ditata oleh bangsa Indonesia jika melihat bangun pengaturan wilayah perkotaan dalam undang-undang mengenai pemerintahan daerah di atas,” papar Irfan.
Irfan juga mengemukakan, Jakarta akan menghadapi persoalan serius terkait kelembagaan kota, usai tidak lagi menyandang status ibu kota.
Hal itu lantaran kekosongan pengaturan kelembagaan perkotaan nasional di Indonesia.
Inisiatif Berani
Terkait hal itu, Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Ismail berpendapat, jika mengingat pengaturan payung nasional mengenai perkotaan di Indonesia, tentu akan memakan waktu lama.
Namun, memindahkan ibu kota dari Jakarta ke mana pun, harus tetap memikirkan desain kelembagaan Kota Jakarta nantinya.
“Harus dihindari, pindah ibu kota, tetapi status Jakarta masih juga sebagai ibu kota. Dengan demikian, bisa terjadi ibu kota kembar. Ini bisa menimbulkan kekacauan (chaos),” ungkap Ismail.
Karena itu, pemerintah perlu memikirkan desain kerangka waktu untuk mengatur hal ini sembari berorientasi menyusun kelembagaan Jakarta seperti apa nantinya jika tidak lagi sebagai ibu kota.
Sementara pemerintah menyiapkan ibu kota baru, Jakarta masih difungsikan sebagai ibu kota transisi.
Ibu kota transisi ini dapat mempertahankan kelembagaan, seperti sekarang.
Setelah transisi, sambung politisi PKS itu, barulah mengatur Jakarta.
“Katakanlah, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu),” kata dia.
Lebih lanjut dikemukakan, karakter ‘megalopolitan’ ditandai oleh nilai-nilai yang tunggal sebagai sebuah super-big-city.
Integrasi fungsional berbagai aspek kekhususan Kota Jakarta ini harus ditegakkan agar bisa lebih lincah, cepat, dan memiliki daya saing yang kuat dibanding kota-kota lain di dunia.
Ismail sependapat dengan Irfan Ridwan Maksum yang menyebutkan bahwa setelah Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota, dapat didesain berdasarkan empat struktur alternatif.
Pertama, terdapatnya struktur hierarkis yang sangat fragmented dan specialized. Di sini tidak diperlukan struktur kecamatan, bahkan wali kota dan bupati.
“Secara geografis kewilayahan, masih tersusun kota-kota di dalam Megalopolitan Jakarta, tetapi tidak ada struktur pejabat berbasis kewilayahan, melainkan tempat cabang special agent dari Pemerintah Megapolitan Jakarta,” tutur dia.
Dewan Kota seperti sekarang, tambah Ismail, tidak lagi dibutuhkan. Sebagai gantinya, cukup terdapat Dewan Megalopolitan saja di tingkat provinsi.
Namun, dapat saja dalam wilayah setingkat kelurahan dibentuk kelembagaan informal mirip citywards di Tokyo dengan pemerintah kolegial (collegial governances). (bhd/lj)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Verified by MonsterInsights